Kamis, 25 November 2010

CATATAN SANG PEMIMPI

1
Salut dan salam hormat setinggi-tingginya bagi para pelopor yang menggarap film 'Sang Pemimpi'. Dengan segala upaya mereka menyuguhkan sebuah drama asli Indonesia, kisah lewat gambar yang membuat kita semua merasa Indonesia. Hebat sekali.
Para pemerannya sungguh cemerlang. Semua! Tata artistiknya juga desain kostumnya tidak terbantahkan, tidak ada yang kurang bahkan sempurna kalau bisa dibilang. Penataan musiknya juga mantap, tidak ada yang terasa mengganggu atapun tidak pada tempatnya.
Hanya saja, dengan segala kerendahan hati, saya seringkali merasa kehilangan tempo dalam film ini. Satu adegan terasa begitu detil memaparkan sebuah cerita, adegan lainnya terasa begitu mengalir, adegan lainnya dibiarkan pada para menonton untuk mengira apa yang terjadi.
Itu semua membuat 'Sang Pemimpi' seperti sebuah tampilan cuplikan-cuplikan. Bukan sebuah jalinan gambar yang menjadikannya sebuah film yang utuh.
Jika dibandingkan dengan film pendahulunya, 'Laskar Pelangi', saya bisa merasakan tempo yang naik-turun tapi semuanya terasa seirama, mengalir menuju satu muara. Ada pesan besar, sebuah ide, yang menonjok kita pada akhirnya.
Hal itu tidak saya dapatkan kali ini, seolah begitu banyak yang ingin diceritakan lewat film ini, tapi masing-masing cerita di dalamnya seolah tidak tergapai muaranya, meskipun kita tahu mereka semua ingin mengejar mimpi.
Kalau boleh saya curiga, film ini ingin mengangkat cerita dalam novel seasli mungkin kedalam gambar (maaf sebelumnya, saya belum membaca novel 'Sang Pemimpi'). Tapi hal itu justru membuat sebuah sinema kehilangan kekuatan penceritaanya sendiri sebagai satu kesatuan bahasa audio visual yang berbeda dengan bahasa novel.
Semestinya film 'Sang Pemimpi' dapat lebih menggambarkan jalinan cerita yang ada di dalam novel, tapi rasa-rasanya cerita-cerita yang ada di dalam novel ini yang justru kemudian dibuatkan film-filmnya. Saya kira ini yang membuat saya kehilangan keterkaitan antar adegan, menjadi sebuah cuplikan-cuplikan.

2
Dari sisi sinematografi 'Sang Pemimpi' memiliki kualitas yang prima, meskipun ada penayangan gambar yang diulang sehingga terasa agak bosan. Seperti latar kapal yang karam dan pengambilan gambar langkah kaki ketika Ikal mengejar bapaknya setelah mengambil rapot.
Hemat saya meskipun lokasi ataupun adegannya sama sebenarnya pengambilan gambarnya bisa diambil dari sudut yang berbeda. Hal ini dapat memperkaya sekaligus memperkuat kita akan suatu suasana.
Menariknya, dalam berbagai plot 'Sang Pemimpi' kerap terdapat kejutan yang tersimpan lewat suguhan sinematografinya. Sehingga film yang ditayangkan tidak monoton, dan kejutan pun berbuah senyuman. Akan lebih menarik juga sebenarnya jika kejutan itu diperbanyak lewat pengambilan sudut-sudut kamera yang tidak biasa atau dengan inovasi-inovasi lain yang membuat 'Sang Pemimpi' menjadi film yang lebih luar biasa lagi.
Sementara itu dari segi akting, Rieke Dyah Pitaloka dan Mathias Mutchus tampil super sekali. Walaupun tanpa baris dialog yang banyak maupun panjang, tapi seluruh raga mereka bicara seperti akting yang sebaik-baiknya. Terasa menyentuh sekali.
Para pemeran Ikal, Arai, dan Jimron semasa kecil juga remaja tampil natural sekali, fantastis. Tidak sekejap pun penampilan mereka meragukan. Tidak sempurna secara keseluruhan memang, tapi itu sedikit banget, sangat sedikit sekali.
Pujian juga untuk pemeran kepala sekolah, figurnya mantap sekali, tanpa cacat. Karakternya begitu kuat, aura dan wibawanya juga terasa pada porsinya. Sangat pas sekali. Sedangkan Nugie yang berperan sebagai seorang guru, kurang terasa aura dan wibawanya. Meskipun begitu penampilanya bukan buruk sama sekali, aktingnya justru cemerlang.
Ariel 'Peter Pan' yang berperan sebagai Arai dewasa juga tampil cemerlang. Hanya saja saya agak terganggu dengan cara jalannya. Sepanjang film banyak adegan yang menampilkan Arai remaja berjalan. Maka seketika melihat cara jalan Arai dewasa, seketika itu juga saya seolah melihat dua orang yang berbeda.
Hal itu tidak tampak pada Lukman Sardi yang berperan sebagai Ikal. Setahu saya cara berjalan dipengaruhi oleh pembawaan diri, jiwa sebuah karakter yang berdampak pada irama melangkahkan kaki juga gaya berjalan. Dan kesinambungan itu terlihat sangat berbeda antara Arai remaja dan dewasa.
Sementara untuk Lukman Sardi, menurut saya anda aktor Indonesia terbaik saat ini. Luar biasa, selamat! Selamat juga untuk para pemeran lainnya yang tampil baik sekali.

3
Satu hal lain yang menjadi pertanyaan saya, karena ini merupakan sambungan film sebelumnya, adalah ketika dalam film ini diceritakan orang tua Ikal dan Arai menerima surat bahwa mereka akan pergi ke Paris. Sementara itu dalam film 'Laskar Pelangi' diceritakan Ikal pulang ke Belitung dan tidak sengaja bertemu dengan Lintang. Pada sahabatnya itu dia mengabarkan bahwa dia akan pergi ke Paris.
Mengapa dua ujung film ini tidak disambungkan?
Kalau Ikal memang pulang dulu sebelum pergi ke Paris, kenapa dia harus menulis surat dan tidak memberi tahu langsung pada orang tuanya? Kalau memang surat itu lebih dulu dikirim sebelum Ikal pulang, seharusnya diceritakan dalam film kalau Ikal akan pulang dulu sebelum pergi ke Paris. Dengan begitu maka akan terjadi kesinambungan cerita antara film yang diangkat dari novel pertama dan kedua karya Andrea Hirata ini.
Sungguh saya tidak bermaksud mendikte atau merasa paling tahu atau menyarankan seperti apa cerita dalam film ini seharusnya. Saya hanya mengira logika yang semestinya bisa tersambung dalam kedua film tadi.
Terlepas dari segala catatan, 'Sang Pemimpi' adalah film yang perlu kita sambut dan kita apresiasi dengan tinggi. Seperti judulnya itu sendiri, film ini mendorong kita untuk mengejar mimpi, baik pribadi maupun bagi perfilman Indonesia.
Tidak ada yang salah atau benar dalam berkarya. Yang ada hanya ia berhasil atau tidak menyampaikan sesuatu bagi target yang ditujunya. Dan hal itu bisa berlainan bagi setiap orang. Salut sekali lagi.
Maju terus sinema Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar